Saturday, December 7, 2013

Browse Manual » Wiring » » » » » » » » » Syiah Sesat Ini Kata Ustadz Kampung Bagian IV

Syiah Sesat Ini Kata Ustadz Kampung Bagian IV

Ternyata selama ini kita selalu dijadikan objek oleh orang-orang yang haus darah. Kebodohan kita, ketidaktahuan kita, keengganan kita untuk menerima perbedaan, telah dimanfaatkan oleh orang-orang yang anti perdamaian dengan mempertentangkan antara Sunni-Syiah supaya kita saling memusuhi, saling membenci, bahkan kalau perlu, bisa saling bunuh satu sama lain.

Tidak itu saja, keawaman kita terhadap sejarah Islam pun telah berhasil dimanfaatkan oleh mereka yang haus kekuasaan dengan cara mempolitisir dan menggalang dukungan kita dengan dalih tegaknya khilafah Islamiyah.

Tragisnya, kita pun hanyut dalam permainan mereka dan tanpa sadar telah menjadi seperti mereka. Karena itulah kita harus bertanya dan terus bertanya agar tidak terjebak pada permainan kotor mereka yang ingin menghancurkan Islam dari dalam.

Saya : Melanjutkan obrolan tadi, bagaimana pandangan ustadz menyangkut nikah mut’ah?

Ustadz : Kalau urusan begini paling demen nih anak, hehehe....
Nikah mut’ah ini bagi kalangan Syiah mungkin seperti rokok di kalangan Sunni. Ulama-ulama Syiah memang membolehkannya tapi orang-orang yang melakukannya hanya sedikit, hanya yang tidak bisa melawan hawa nafsu saja. Ya... sama lah seperti masalah rokok di kita. Ulama-ulama Sunni membolehkannya, tapi kan tidak semua orang suka merokok, hanya yang doyan saja seperti kamu, hehehe...

Saya : Hehehe... Maksud saya hukumnya ustadz?

Ustadz : Mengenai hukumnya, menurut Syiah halal tapi menurut Sunni, bagi saya, cukup membingungkan karena ada yang mengatakan bahwa Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mengharamkan, tapi ada juga yang mengatakan sebaliknya, bahwa Imam-imam tersebut menghalalkan. Bahkan pendapat yang mengatakan bahwa Imam-imam madzhab tersebut menghalalkan nikah mutah didukung pula oleh ulama-ulama Sunni yang terpercaya, seperti Imam Sarkhasi, Al-Amini, Al-Zailai, Al-Taftazani, dll. Dalam Shahih Bukhari-Muslim pun sebenarnya ada hadits yang membolehkan nikah mutah, dengan syarat jika dalam perjalanan atau dalam keadaan perang. Mana yang benar? Saya sendiri belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Tapi kalau Imam Syafii jelas-jelas mengharamkannya.
Namun ada fenomena menarik di kalangan Sunni sendiri. Banyak orang-orang Sunni yang melakukan nikah mut’ah, hanya saja dengan sebutan berbeda. Misalnya, pada sekitar tahun 1990-an, ada seorang pimpinan Pondok Pesantren besar di Jakarta yang melakukan nikah semalam di sebuah hotel dengan seorang janda, yang suaminya terbunuh pada peristiwa Tanjung Priuk. Atau dari informasi yang saya dengar, banyak turis-turis Arab yang melakukan nikah kontrak dengan perempuan-perempuan di kawasan Puncak. Nah, apa pernikahan seperti ini bukan mut’ah? Intinya kan sama saja, yaitu nikah dengan batas waktu tertentu atau mut’ah.
Kelihatannya di Sunni pun masih terdapat perbedaan pendapat. Buktinya ada kejadian-kejadian seperti yang saya sebutkan tadi. Dan boleh jadi pendapat yang mengatakan bahwa Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad menghalalkan nikah mutah itu benar, soalnya orang-orang Arab kebanyakan menganut madzhab di luar madzhab Syafii sehingga ketika menjadi turis mereka melakukan nikah mutah.

Saya : Ooo... Jadi belum jelas juga ya, ustadz? Kalau menurut Syiah sendiri bagaimana, kok bisa dihalalkan dan berbeda pandangan dengan Sunni?

Ustadz : Setahu saya, perbedaannya terletak pada penafsiran terhadap Surat An-Nisa ayat 24. Para ulama ahli tafsir sependapat bahwa ayat ini berkaitan dengan nikah mutah tapi berbeda pendapat mengenai masih berlaku atau tidaknya. Sebagian ulama Sunni berpendapat bahwa ayat tersebut sudah di-nasakh atau dibatalkan oleh ayat lain dan hadits Nabi. Saya sebut sebagian ulama karena, seperti yang saya jelaskan tadi, di kalangan Sunni sendiri masih terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini. Sedangkan ulama Syiah berpendendapat sebaliknya. Menurut ulama Syiah, tak ada satupun ayat atau hadits yang mendukung pembatalan ayat tersebut, karena itu ayat tersebut masih berlaku.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang pengharaman nikah mutah ini. Ada yang berpendapat diharamkan sejak Nabi masih hidup, ada juga yang berpendapat diharamkan pada masa kekhalifahan Umar, sedangkan pada masa Nabi dan kekhalifahan Abu Bakar nikah mutah masih dibolehkan.

Saya : Cukup rumit juga... Kalau pada masa Nabi dan Abu Bakar masih dibolehkan, kenapa Umar mengharamkan nikah mutah, ustadz?

Ustadz : Dalam berbagai hadits yang bisa kita jumpai di dalam Shahih Muslim, Musnad Ahmad dan Sunan Baihaqi, pengharaman nikah mutah dilakukan oleh Umar akibat ulah Amr bin Khuraits. Umar marah karena Amr bin Khuraits bersama seorang temannya melakukan nikah mutah sampai melahirkan anak. Dalam hadits-hadits itu tidak dijelaskan alasan kenapa Umar marah. Tapi dalam keterangan lain, ada yang menjelaskan bahwa Umar marah karena Amr bin Khuraits tidak mau mengakui anaknya dari hasil nikah mutah tersebut, karena itulah kemudian Umar mengharamkan nikah mutah agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Dan sejak itulah nikah mutah menjadi haram.

Saya : Tapi ustadz, banyak yang beranggapan bahwa nikah mutah itu sama saja dengan pelacuran. Bagaimana menurut ustadz?

Ustadz : Jelas beda. Nikah mutah itu pada dasarnya sama saja dengan nikah dhaim (nikah permanen). Yang membedakan hanya lama waktunya saja. Dalam nikah mutah lama waktunya sesuai kesepakatan, bisa sehari, bisa juga sampai setahun. Sedangkan dalam nikah dhaim lama waktunya tidak ditentukan. Tapi dalam nikah dhaim pun bisa saja lamanya hanya beberapa hari, minggu atau bulan, seperti banyak terjadi pada pernikahan di kalangan artis kita.
Karena kesamaan itulah maka dalam nikah mutah pun berlaku masa iddah selama empat bulan sepuluh hari bagi si perempuan (QS, 2:234). Kalau pelacuran kan tidak ada masa iddah sehingga bisa berganti pasangan setiap saat. Tapi kalau dalam nikah mutah, si perempuan harus menunggu sampai masa iddah-nya habis jika ingin melakukan nikah mutah lagi.
Pemberlakuan masa iddah ini agar jika sampai mengandung, anak tersebut ketahuan siapa ayahnya, sehingga nantinya si ayah berkewajiban untuk menapkahi, menjadi wali dan memberikan waris kepada anak hasil mutah tersebut. Berbeda dengan anak-anak hasil pelacuran atau perzinahan, yang kadang ayahnya saja tidak jelas.
Malah menurut Sachiko Murata, seorang akademisi Jepang, justru nikah mutah ini bisa mencegah penyakit sosial yang umum terjadi di masyarakat, seperti: pelacuran, perselingkuhan, hidup bersama tanpa nikah, dll. Kalaulah terjadi penyalahgunaan pada nikah mutah, hal itu bukan karena kekeliruan syariat, tapi lebih disebabkan oleh para pelakunya sendiri.

Saya : Wah... enak di laki-laki dong, ustadz, karena tidak ada masa iddah-nya, jadi bisa melakukan mutah kapan saja.

Ustadz : Sepintas memang begitu, tapi sebenarnya tidak juga. Di dalam nikah mutah, perempuanlah yang menentukan besaran maharnya, akibatnya bisa saja si laki-laki tidak sanggup membayar mahar sehingga pernikahan mutahnya batal. Selain itu tidak semua perempuan Syiah mau melakukan nikah mutah, paling hanya sebagian kecil saja, itu pun hanya perempuan-perempuan yang tidak bisa menahan nafsu. Nah, kalau semua perempuan itu dalam masa iddah, berarti para lelaki hidung belang itu pun harus menunggu jika ingin melakukan nikah mutah lagi dengan perempuan lain. Jadi sebenarnya, laki-laki pun tidak bisa melakukan nikah mutah secara sembarangan, sesuka hatinya.

Saya : Benar juga... Tapi ustadz, katanya nikah mutah bisa dilakukan dengan anak kecil, bahkan balita. Apa benar begitu?

Ustadz : Hahaha... ngawur itu. Salah satu syarat nikah kan sudah usia baligh. Begitu pun dalam nikah mutah berlaku pula syarat itu. Ngaco saja kalau ada yang ngomong seperti itu.

Saya : Ada lagi nih, ustadz, katanya dalam Shahih Bukhari-Muslim, Ali mengharamkan nikah mutah. Bagaimana bisa bertentangan dengan hadits Bukhari-Muslim lain yang membolehkan nikah mutah, seperti yang ustadz ceritakan sebelumnya?

Ustadz : Wah... untuk masalah itu saya bukan ahli hadits yang bisa menilai kwalitas hadits, apakah termasuk hadits shahih, dhaif atau maudhu. Tapi begini... katanya hadits tersebut bersumber dari Abu Hurairah. Nah, Abu Hurairah sendiri, menurut sebagian ulama dan pakar hadits, termasuk orang yang diragukan kredibilitasnya karena beliau banyak mengeluarkan hadits-hadits janggal, tidak masuk akal, bahkan bertentangan dengan Al-Quran. Selain itu, jumlah hadits-hadits yang berasal dari beliau cukup fantastis, melebihi jumlah hadits-hadits yang berasal dari para shahabat lain, padahal Abu Hurairah masuk Islam pada tahun ke-7 Hijriah dan bergaul dengan Nabi hanya sekitar 1,9 tahun (Safar 7H/Juni 628M s.d. Dzulkaidah 8H/Maret 630M). Siti Aisyah saja hanya menyampaikan sekitar 2210 hadits, sementara Abu Hurairah menyampaikan 5374 hadits. Ini kan aneh?.
Lebih aneh lagi jika dibandingkan dengan hadits-hadits yang disampaikan Khalifah Ar-Rasyidin. Abu Bakar saja yang bergaul dengan Nabi selama puluhan tahun, hanya menyampaikan 142 hadits. Umar menyampaikan 537 hadits, Utsman menyampaikan 146 hadits, dan Ali menyampaikan 586 hadits, padahal dari sejak kecil beliau hidup bersama Nabi.

(Note: Berarti Abu Hurairah menerima hadits dari Nabi saww sekitar 8 s.d. 9 hadits perhari (5374:630=8,53). Sungguh fantastis!)

Saya : Wow! Kalau begitu, banyak juga dong hadits dalam Shahih Bukhari-Muslim yang diragukan, soalnya kan banyak hadits yang berasal dari Abu Hurairah. Bagaimana menurut ustadz?

Ustadz : Shahih itu kan judul kitabnya, bukan berarti semua isinya pasti shahih. Apalagi hasil penelitian pakar hadits mutakhir banyak ditemukan hadits-hadits lemah dan palsu di dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim. Kita kan sering terjebak dengan judulnya, seolah-olah hadits-hadits dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim itu sudah pasti shahih semua. Akibatnya, ketika ada pakar hadits yang mengkritisi kitab Shahih Bukhari-Muslim tersebut, lantas kita menuduhnya dengan tuduhan macam-macam. Kitab-kitab hadits itu kan hanya karya manusia biasa, bisa saja terjadi kesalahan. Yang pasti shahih itu cuma satu, Al-Quran.

Saya : Bisa diberikan contoh, ustadz?

Ustadz : Saya bukan pakar hadits, karenanya tidak bisa menilai hadits. Tapi ada beberapa hadits "aneh" dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim, juga dalam kitab-kitab lain, yang berasal dari Abu Hurairah, misalnya: hadits yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan Adam menurut bentuk-Nya dengan tinggi 60 hasta; atau hadits yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu, gunung pada hari Minggu, pohon pada hari Senin, dst.; atau hadits yang menyebutkan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir kemudian Ia berfirman...; atau hadits yang mengatakan tidak ada penyakit menular, penyakit kuning dan hamma; atau hadits tentang Nabi Musa menampar Malaikat Maut hingga bola matanya keluar; atau hadits tentang pundi berisi kurma miliknya yang tidak habis-habis sejak masa Rasulullah hidup sampai meninggalnya Utsman; dan masih banyak lagi hadits-hadits "aneh" Abu Hurairah lainnya.[*]
Bagi saya hadits-hadits tersebut tidak masuk akal. Masa bentuk Allah sama dengan bentuk Nabi Adam yang tingginya 60 hasta atau sekitar 30 meter? Ini kan bertentangan dengan surat Al-Ikhlas dan ke-Akbar-an Allah? Begitu juga dengan masalah penciptaan bumi, gunung, pohon, dll. itu. Juga tentang turunnya Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Coba kamu pikir, kalau Allah turun ke langit dunia, lantas siapa yang mengawasi langit Mars, Saturnus, Uranus, atau langit-langit yang berada di galaksi lain yang jumlahnya ratusan milyar? Kalaulah pengawasan terhadap planet-planet dan galaksi-galaksi lain itu dititipkan pada para malaikat, nanti Allah tidak bisa pulang lagi dong, soalnya setiap tempat memiliki waktu sepertiga malam yang berbeda. Dan Allah juga akan terus-terusan berfirman di setiap tempat yang berbeda-beda itu. Ini kan tidak masuk akal? Begitu juga dengan hadits mengenai tidak ada penyakit menular, Nabi Musa menampar Malaikat Maut, dan hadits pundi ajaib yang tiba-tiba raib pada saat meninggalnya Utsman (menjelang kekhalifahan Ali). Janggal sekali.
Tapi sudahlah, toh saya bukan pakar hadits. Kalau kamu masih penasaran, tanyakan saja kepada para ulama ahli hadits. Tapi jangan kaget jika nanti akan mendapatkan jawaban yang berbeda-beda.

Saya : Wah, ternyata banyak yang saya tidak tahu, ustadz. Tadinya saya kira hadits dari Bukhari-Muslim itu shahih semua, ternyata banyak juga ya yang janggal?
Kembali ke masalah mutah tadi, ustadz. Berarti hadits yang mengatakan bahwa Ali mengharamkan nikah mutah itu palsu dong?

Ustadz : Untuk masalah palsu dan tidaknya, saya tidak memiliki kapasitas untuk menilainya, tanyakan saja pada ulama ahli hadits. Tapi yang pasti, ulama-ulama Syiah menolak hadits tersebut dan menganggapnya sebagai hadits palsu, karena selain tidak mempercayai Abu Hurairah, juga banyak hadits yang mengatakan bahwa Ali menghalalkan nikah mutah.

Saya : Baiklah, ustadz. Tapi bagaimana tanggapan ustadz mengenai hadits Syiah yang mengatakan bahwa jika kita melakukan nikah mutah sekali maka derajatnya sama dengan derajat Husain, melakukan dua kali sama dengan derajat Hasan, melakukan tiga kali sama dengan derajat Ali, dan melakukan empat kali sama dengan derajat Nabi?

Ustadz : Hehehe... Tanya saja ulama Syiah. Saya kan bukan Syiah.
Tapi menurut saya, apa orang-orang Syiah itu pada bodoh semua sehingga mau mempercayai begitu saja hadits-hadits "aneh" seperti itu? Mereka juga memiliki ulama-ulama ahli hadits yang bisa menilai kwalitas suatu hadits. Jadi jangan hanya karena ada hadits-hadits "aneh" atau pendapat-pendapat "nyeleneh" dalam kitab-kitab jadul Syiah, lantas Syiah dianggap sesat. Kalau begitu, Sunni juga sesat dong soalnya banyak juga hadits-hadits "aneh" dalam kitab-kitab Sunni, termasuk dalam Shahih Bukhari-Muslim.
Apa kamu percaya kalau Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu, gunung pada hari Minggu, pohon pada hasi Senin, dst., padahal hadits itu dimuat dalam Shahih Muslim? Apa kamu percaya dengan hadits-hadits yang saya sebutkan tadi semuanya berasal dari Rasullah? Apa kamu percaya pada hadits Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Nabi Musa mandi telanjang bulat sampai terlihat buah pelirnya yang besar (burut?), kemudian berlari mengejar-ngejar batu yang membawa bajunya dengan disaksikan oleh orang-orang bani Israel, padahal hadits tersebut dimuat dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim?
Dengan menyebut "buah pelir" saja saya sudah tidak yakin kalau hadits itu perkataan Nabi. Masa Nabi yang mulia, yang terkenal santun dan lemah lembut, mau berkata seperti itu? Apalagi ditambah cerita aneh tentang batu yang lari membawa kabur baju Nabi Musa.
Tidak hanya hadits saja yang "aneh", pendapat ulama-ulama Sunni pun ada yang "nyeleneh". Misalnya, ada ulama jadul yang berpendapat bahwa bumi tidak berputar karena Allah selalu turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, sehingga menurutnya, jika bumi berputar maka Allah tidak bisa kembali lagi ke ‘Arasy. Atau menurut adik saya, sewaktu belajar di pesantren, ada ulama jadul yang berpendapat bahwa binatang yang pertama berdzikir adalah kodok, dan penyebab orang barat matanya keabu-abuan dikarenakan berasal dari keturunan Yahudi yang dihidupkan kembali oleh Nabi Isa. Nah, apa karena beliau-beliau ini para ulama lantas kita harus percaya begitu saja pada pendapat mereka?
Seharusnya kita bersikap adil. Jangan hanya karena membenci pada satu golongan lantas mencari-cari keburukannya padahal dalam diri sendiri pun masih banyak korengnya. Ingat saja firman Allah: "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS, 5:8)

Saya : Iya, ustadz. Ada pertanyaan lain nih, ustadz. Katanya di Syiah shalat Zhuhur dan Ashar-nya dijama begitu juga dengan shalat Maghrib dan Isa. Apa benar demikian?

Ustadz : Benar. Buat mereka shalat lima kali itu bukan suatu keharusan. Yang terpenting melakukan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Shubuh. Boleh dijama, boleh juga tidak.

Saya : Lho, kok bisa begitu, ustadz, apa ada dalilnya?

Ustadz : Dalil dari hadits-hadits Syiah saya tidak tahu, tapi kalau dari hadits-hadits Sunni memang ada. Hadits-hadits tersebut dimuat dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim, Musnad Ahmad dan beberapa kitab lain, yang bersumber dari keterangan Ibnu Abbas, yang menceritakan bahwa Rasulullah saw menjama shalat Zhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya di Madinah meskipun tidak sedang bepergian dan tidak juga dalam keadaan takut maupun hujan. Hal ini dilakukan beliau agar memberikan kemudahan bagi umat Islam.
Dalam surat Al-Isra ayat 78 pun disebutkan: "Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan quranal fajri (shubuh). Sesungguhnya shubuh itu disaksikan". Nah, barangkali selain karena hadits-hadits dari Ibnu Abbas tadi, didasarkan pula pada surat Al-Isra ayat 78 tersebut, dengan anggapan bahwa shalat itu didirikan pada saat matahari tergelincir dengan menjama shalat Zhuhur dan Ashar; pada saat gelap malam dengan menjama shalat Maghrib dan Isya; serta pada saat quranal fajri atau shubuh.
Kalau untuk lebih jelasnya, kamu bisa menanyakan sendiri pada ulama Syiah. Saya kan hanya Syiah Persib, hehehe...

Saya : Wah, ternyata ajaran Islam itu mudah juga ya? Tapi apa hal itu tidak menyimpang, ustadz?

Ustadz : Menyimpang bagaimana? Ini kan hanya ikhtilaf. Sama lah dengan masalah qunut, yang jadi perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah atau dengan Persis. Masing-masing memiliki dalilnya sendiri. Adapun masalah benar dan tidak, kita serahkan saja pada Allah.
Yang jelas-jelas menyimpang itu, yang tidak melakukan shalat sama sekali. Masalah ikhtilaf seperti ini gak bakalan selesai sampai kapan pun, kecuali semua muslim jadi satu madzhab.


Bersambung...

Bahasan Dialog Seputar Syiah:
  1. Syiah = NU + Imamah, Tradisi Syiah di Indonesia
  2. Taqiyah, Abdullah bin Saba, Saqifah, Khilafah, Umar, Abu Bakar
  3. Utsman, Muawiyah, Aisyah, Thulaqa, Fitnatulkubro, Ahlul Bait
  4. Nikah Mutah, Abu Hurairah, Hadits-hadits Janggal, Shalat Jama
  5. 12 Imam, Talfiq, Al-Quran Syiah, Kitab Al-Kafi, Strategi Zionis
[*] Cek di Kitab Hadits Online terkait hadits-hadits "aneh" Abu Huraerah:
  • Abu Huraerah ikut Perang Khaibar bersama Nabi Saww (Bukhari No. 6213, 6116, 3882, 3908, 3911, 3918, 2615; Muslim No. 166; Abu Daud No. 2336; Nasai No. 3767; Malik No. 869), padahal Perang Khaibar terjadi pada bulan Muharam tahun ke-7 H sedangkan Abu Huraerah masuk Islam setelah terjadi Perang Khaibar.
  • Abu Huraerah menarik kembali ucapan tentang sabda Nabi Saww: "Barangsiapa yang pagi-pagi masih dalam keadaan junub, maka tidak syah puasanya." setelah Aisyah dan Ummu Salamah berkata, "Nabi Saww pernah bangun pagi hari dalam keadaan junub bukan karena bermimpi, lalu beliau berpuasa." (Ahmad No. 25412; Muslim No. 1864; Bukhari No. 1791; Malik No. 566).
  • Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu, gunung pada hari Minggu, pohon pada hari Senin, dst. (Muslim No. 4997; Ahmad No. 7991).
  • Arasy Allah berada di atas air (Bukhari No. 4316, 6862, 6869; Muslim No. 1659; Tirmidzi No. 2971; Ahmad No. 7793, 10096).
  • Allah menciptakan Adam menurut semua ciri fisikNya dengan tinggi 60 hasta (Bukhari No. 5759, 3079; Muslim No. 5075; Ahmad No. 7941).
  • Allah melipat bumi dan langit dengan tangan kananNya (Bukhari No. 4438, 6037, 6038, 6834; Muslim No. 4994; Ibnu Majah No. 188; Ahmad No. 8508; Darimi No. 2679).
  • Allah turun ke langit dunia pada setiap sepertiga malam terakhir (Bukhari No. 1077, 5846, 6940; Muslim No. 1261, 1262, 1263, 1264, 1265; Abu Daud No. 4108; Tirmidzi No. 3420; Ibnu Majah No. 1356; Ahmad No. 7196, 7275, 7303, 7460, 9067, 9922, 10140, 10209, 10338, 10959; Malik No. 447; Darimi No. 1442, 1443, 1444).
  • Nabi Musa mandi telanjang bulat sampai terlihat buah pelirnya yang besar, kemudian berlari mengejar batu yang membawa kabur bajunya dengan disaksikan Bani Israel (Bukhari No. 269, Muslim No. 513, 4372; Tirmidzi No. 3145; Ahmad No. 8729).
  • Nabi Musa menampar mata Malaikat Maut dan mencungkil (dalam riwayat lain, hingga terlepas) bola matanya (Bukhari No. 1253, 3155; Muslim No. 4374, 4375; Ahmad No. 7825, 8262, 10484).
  • Nabi Ayub mandi telanjang kemudian kejatuhan belalang emas (Bukhari No. 270, 3140, 6939; Nasa’i No. 406).
  • Nabi Ibrahim berbohong dalam tiga hal (Bukhari No. 3108, 4694; Muslim No. 4371; Abu Daud No. 1891; Tirmidzi No. 3090; Ahmad No. 8873).
  • Nabi Adam berdebat dengan Nabi Musa (Bukhari No. 3157, 4369, 6124, 6961; Muslim No. 4793, 4794, 4795, 4796; Abu Daud No. 4079; Tirmidzi No. 2060; Ibnu Majah No. 77; Ahmad No. 7082, 7272, 7315, 7811, 8811; Malik No. 1394).
  • Serigala dan Sapi berbicara kepada penggembala (Bukhari No. 3390, 3212, 2156; Muslim No. 4401; Tirmidzi No. 3628; Ahmad No. 8605).
  • Tidak ada ‘adwa (penyakit menular), shafar (penyakit kuning/cacingan) dan hammah (Bukhari No. 5278, 5316, 5328; Muslim No. 4116, 4118; Abu Daud No. 3412, 3413; Ahmad No. 7301, 8800).

No comments:

Post a Comment